QAIDAH FIQIH AL-UMURU BI MAQASIDIHA DAN PENERAPANNYA

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang.

Kaidah Al-Umuru Bi Maqasidiha merupakan salah satu daripada kaedah yang digunakan oleh para Fukaha’ dalam dalam Qawa’id Fiqhiyya h. Jadi kaidah ini ditafsirkan dari dua sudut yaitu dari segi bahasa dan istilah. Pengertian kaedah dari segi bahasa boleh membawa maksud asas manakala menurut istilah pula bermaksud perkara yang dipraktikkan daripada masalah atau perkara pokok kemudian dipraktikkan terhadap perkara-perkara furu’.
Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqh kita akan mengetahui dan menguasai kaidah fiqh, karena kaidah fiqh itu menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh, dan lebih arif di dalam menerapkan fiqh dalam waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang berlainan. Selain itu juga akan lebih moderat di dalam menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politiK, budaya dan lebih mudah mencari solusi terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat.
Kaidah al-ummur bimaqashidha ini adalah menegaskan bahwa setiap amal perbuatan baik yang menyangkut hubugan manusia dengan allah maupun hubungan dengan sesama manusia. Landasan dari kaidah fikih ini adalah al-qur’an dan sejumlah hadis.

B.     Rumusan Masalah.
1.      Apa makna al-Umuru bi maqasidiha ?

2.      Apa dalil al-Umuru bi maqasidiha ?

3.      Apa cabang-cabang dari al-umuru bi maqasidiha dan bagaimana penerapannya ?




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Makna Al-Umuru Bi Maqashidiha

Kaidah al-umuru bi maqashidiha terbentuk dari dua unsur yakni lafadz al-umuru dan al- maqashid terbentuk dari lafadz al-amru dan al-maqshid. Secara etimologi lafadz al-umuru merupakan bentuk dari lafadz al-amru yang berarti keadaan, kebutuhan, peristiwa dan perbuatan. jadi, dalam bab ini lafadz al-umuru bi maqashidiha diartikan sebagai perbuatan dari salah satu anggota.
Sedangkan menurut terminologi berarti perbutan dan tindakan mukallaf baik ucapan atau tingkah laku, yang dikenai hukum syara’ sesuai dengan maksud dari pekerjaan yang dilakukan. Sedangkan maqashid secara bahasa adalah jamak dari maqshad, dan maqsad mashdar mimi dari fi’il qashada, dapat dikatakan: qashada- yaqshidu-qashdan-wamaksadan, al qashdu dan al maqshadu artinya sama, beberapa arti alqashdu adalah ali’timad berpegang teguh, al amma, condong, mendatangi sesuatu dan menuju.
Kaidah pertama ini (al-umuru bi maqasidiha) menegaskan bahwa semua urusan sesuai dengan maksud pelakunya kaidah itu berbunyi: األمور بمقـاصدها (“segala perkara tergantung kepada niatnya”). Niat sangat penting dalam menentukan kualitas ataupun makna perbuatan seseorang, apakah seseorang melakukan perbuatan itu dengan niat ibadah kepada Allah dengan melakukan perintah dan menjauhi laranganNya. Atau dia tidak niat karena Allah, tetapi agar disanjung orang lain. Pengertian kaidah ini bahwa hukum yang berimplikasi terhadap suatu perkara yang timbul dari perbuatan atau perkataan subjek hukum (mukallaf) tergantung pada maksud dan tujuan dari perkara tersebut. Kaidah ini berkaitan dengan setiap perbuatan atau perkara-perkara hukum yang dilarang dalam syari’at Islam.
Makna Niat, Kata niat dengan tasydid pada huruf ya adalah bentuk mashdar dari kata kerja nawaa-yanwii. Inilah yang masyhur di kalangan ahli bahasa. Ada pula yang membaca niat dengan ringan, tanpa tasydid menjadi (niyah)..Sementara Ibnu Abidin menyatakan niat secara bahasa berarti, kemantapan hati terhadap sesuatu, sedangkan menurut istilah berarti mengorientasikan ketaatan dan pendekatan diri kepada Allah dalam mewujudkan tindakan.
Niat itu diperlukan karena Untuk membedakan amalan yang bernilai ibadah dengan yang hanya bersifat adat (kebiasaan). Seperti halnya makan, minum, tidur dan lain-lain. hal itu merupakan suatu keniscayaan bagi kita sebagai manusia, disadari atau tidak kita butuh keberadaanya karena hal yang seperti itu termasuk kategori kebutuhan primer. Akan tetapi jika dalam aktualisasinya kita iringi dengan niat untuk mempertegar tubuh sehingga lebih konsentrasi dalam berinteraksi dengan Tuhan maka disamping kita bisa memenuhi kebutuhan juga akan bernilai ibadah di sisi Allah. Jika seseorang mencaburkan diri ke dalam sungai apabila tidak berniat maka berarti ia mandi biasa, tetapi jika ia berniat untuk berwudhu maka ia dihukumkan berwudhu. Akan tetapi bagi amalan-amalan yang secara eksplisit sudah berbeda dengan amalan yang tidak bernilai ibadah maka tidak diperlukan adanya niat seperti halnya iman, dzikir dan membaca al-Qur’an. Dan juga termasuk amalan yang tidak membutuhkan niat adalah meninggalkan hal-hal yang dilarang oleh agama.
Untuk membedakan satu ibadah dengan ibadah yang lainnya. Dengan niat itu kita bisa menciptakan beraneka ragam ibadah dengan tingkatan yang berbeda namun dengan tata cara yang sama seperti halnya wudhu’, mandi besar, shalat dan puasa.
Sebagai syarat diterimanya perbuatan ibadah. Ada tiga syarat yang harus dipenuhi. Pertama, adalah dengan adanya niat yang ikhlas. Kedua adalah perbuatan atau pekerjaan tersebut harus sesuai dengan yang disyariatkan oleh Allah dan dicontohkan oleh Rasul-Nya. Ketiga, adalah meng-istishhab-kan niat sampai akhir pekerjaan ibadah.
Niat yang ikhlas yaitu keberadaan niat harus disertai dengan menghilangkan segala keburukan nafsu dan keduniaan.Niatnya itu hanya semata-mata perintah Allah. Hal ini dijelaskan oleh Allah dalam beberapa ayat, antara lain pada surah al-Nisa ayat 125;

وَمَنۡ أَحۡسَنُ دِينٗا مِّمَّنۡ أَسۡلَمَ وَجۡهَهُۥ لِلَّهِ وَهُوَ مُحۡسِنٞ وَٱتَّبَعَ مِلَّةَ إِبۡرَٰهِيمَ حَنِيفٗاۗ وَٱتَّخَذَ ٱللَّهُ إِبۡرَٰهِيمَ خَلِيلٗا ١٢٥
Artinya;  Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya.
Menyerahkan dirinya kepada Allah artinya, mengikhlaskan amal kepada Allah, mengamalkan dengan iman dan mengharapkan ganjaran dari Allah.
Adapun ibadah itu mengikuti petunjuk Rasulullah SAW. karena apabila menyalahi dari petunjuk Rasulullah SAW. maka ibadah itu tertolak. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW.
Artinya; “Barangsiapa yang beramal tanpa adanya perintah dari kami, maka amalan tersebut tertolak”.

Sedangkan niat itu tetap berlanjut sampai akhirnya pelaksanaan ibadah, artinya bahwa niat itu tidak berubah dalam pelaksanaan ibadah. jika berubah dalam pelaksanaan ibadah maka ibadahnya menjadi batal. Tiga syarat tersebut di atas, apabila salah satunya tidak terpenuhi, maka amal itu tidak sah atau batal.
B.     Dalil Qaidah
1.      Dalam alquran
a.       Surat al bayyinah ayat 5
وَمَآ أُمِرُوٓاْ إِلَّا لِيَعۡبُدُواْ ٱللَّهَ مُخۡلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَآءَ وَيُقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤۡتُواْ ٱلزَّكَوٰةَۚ وَذَٰلِكَ دِينُ ٱلۡقَيِّمَةِ ٥
Artinya; Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat dan yang demikian Itulah agama yang lurus.
b.      Surat al imran ayat 145
وَمَا كَانَ لِنَفۡسٍ أَن تَمُوتَ إِلَّا بِإِذۡنِ ٱللَّهِ كِتَٰبٗا مُّؤَجَّلٗاۗ وَمَن يُرِدۡ ثَوَابَ ٱلدُّنۡيَا نُؤۡتِهِۦ مِنۡهَا وَمَن يُرِدۡ ثَوَابَ ٱلۡأٓخِرَةِ نُؤۡتِهِۦ مِنۡهَاۚ وَسَنَجۡزِي ٱلشَّٰكِرِينَ ١٤٥
Artinya; Sesuaatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu. Dan kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.
c.        Q.S Al-Baqarah ayat:225  Allah juga berfirman:

لَّا يُؤَاخِذُكُمُ ٱللَّهُ بِٱللَّغۡوِ فِيٓ أَيۡمَٰنِكُمۡ وَلَٰكِن يُؤَاخِذُكُم بِمَا كَسَبَتۡ قُلُوبُكُمۡۗ وَٱللَّهُ غَفُورٌ حَلِيمٞ ٢٢٥
Artinya; Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.

d.      Q.S Al-Baqarah ayat:226
لَآ إِكۡرَاهَ فِي ٱلدِّينِۖ قَد تَّبَيَّنَ ٱلرُّشۡدُ مِنَ ٱلۡغَيِّۚ فَمَن يَكۡفُرۡ بِٱلطَّٰغُوتِ وَيُؤۡمِنۢ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱسۡتَمۡسَكَ بِٱلۡعُرۡوَةِ ٱلۡوُثۡقَىٰ لَا ٱنفِصَامَ لَهَاۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ ٢٥٦
Artinya; Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui

e.      Surat al –ahzab ayat 5
ٱدۡعُوهُمۡ لِأٓبَآئِهِمۡ هُوَ أَقۡسَطُ عِندَ ٱللَّهِۚ فَإِن لَّمۡ تَعۡلَمُوٓاْ ءَابَآءَهُمۡ فَإِخۡوَٰنُكُمۡ فِي ٱلدِّينِ وَمَوَٰلِيكُمۡۚ وَلَيۡسَ عَلَيۡكُمۡ جُنَاحٞ فِيمَآ أَخۡطَأۡتُم بِهِۦ وَلَٰكِن مَّا تَعَمَّدَتۡ قُلُوبُكُمۡۚ وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورٗا رَّحِيمًا ٥
Artinya; Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang

2.      Hadist
Dalam sejumlah hadis juga di jelaskan tentang penting peran maksud dan tujuan seseorang dalam melakukan suatu perbuatan seperti berikut:
عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ : إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى . فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ) .رواه إماما المحدثين أبو عبد الله محمد بن إسماعيل بن إبراهيم بن المغيرة بن بردزبة البخاري وابو الحسين مسلم بن الحجاج بن مسلم القشيري النيسابوري في صحيحيهما اللذين هما أصح الكتب المصنفة
Artinya: Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al Khottob radiallahuanhu, dia berkata: Saya mendengar Rasulullah  bersabda : Sesungguhnya setiap  perbuatan itu (tergantung) niatnya.  Dan  sesungguhnya  setiap  orang  (akan dibalas)berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.
(Hadist Riwayat dua imam hadist, Abu Abdullah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Bukhori dan Abu Al Husain, Muslim bin Al Hajjaj bin Muslim Al Qusyairi An Naishaburi dan kedua kita Shahihnya )
Dalam hadis lain di sebutkan:
إنَّمَاالْأَعْمَالُبِالنِّيَّاتِ،وَإِنَّمَالِكُلِّامْرِئٍمَانَوَى،فَمَنْكَانَتْهِجْرَتُهُإلَىاللَّهِوَرَسُولِهِفَهِجْرَتُهُإلَىاللَّهِوَرَسُولِهِ،وَمَنْكَانَتْهِجْرَتُهُلِدُنْيَايُصِيبُهَاأَوْامْرَأَةٍيَنْكِحُهَافَهِجْرَتُهُإلَىمَاهَاجَرَإلَيه                  
Artinya: “Sesungguhnya setiap amalan hanyalah tergantung dengan niat-niatnya dan setiap orang hanya akan mendapatkan apa yang dia niatkan, maka barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan RasulNya maka hijrahnya kepada Allah dan RasulNya dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang hendak dia raih atau karena wanita yang hendak dia nikahi maka hijrahnya kepada apa yang dia hijrah kepadanya”. (HR. Bukhary-Muslim ra.).

إنما بعث الناس على نياته
Artinya: “Sesungguhnya manusia itu dibangkitkan menurut niatnya.” (HR.Ibn Majah dan Abu Hurairah ra.)

انك لو تنفق نفقة تبتغي بها وجه الله الا أجرت عليهاحتى ماتجعل فى فم امرأتك
Artinya:n"Sesungguhnya tidaklah kamu menafkahkan sesuatu dengan maksud mencari keridhaan Allah kecuali diberi pahala walaupun sekedar sesuap ke dalam mulut istrimu" (HR. Bukhari).

من قتل لتكون كلمة الله هي العليا فهو فى سبيل الله عزوجل
Artinya; "Barangsiapa berperang dengan maksud meninggikan kalimah Allah, maka dia ada di jalan Allah" (HR. Bukhari dari Abu Musa).
Ayat-ayat al-Qur’an di atas sebagai dasar dibentuknya qaidah telah diperkuat oleh hadis-hadis Rasulullah SAW. yaitu bahwa tujuan, atau niat dari amal perbuatan harus dikerjakan dengan ikhlas karena Allah. Dengan demikian, maka setiap urusan tergantung pada tujuan atau niat orang yang melaksanakannya. Kalau niat karena Allah atau untuk ibadah, maka akan memperoleh pahala dan keridhaan Allah. Sebaliknya jika niatnya untuk mengerjakan suatu perbuatan hanya karena terpaksa, atau karena ria, maka ia tidak mendapat pahala. Demikian pula, jika seseorang mengerjakan suatu perbuatan tanpa niat terutama dalam masalah ibadah, maka ibadahnya tidak sah.

Di antara sumber-sumber qaidah di atas, yang langsung menunjuk kepada peranan niat dalam semua perkara adalah hadis “تاينلاب لامعلاا امنا" . Hadis itu satu pokok penting dalam ajaran Islam. Imam Syafi’i dan Ahmad berkata : “Hadis tentang niat ini mencakup sepertiga ilmu.” Begitu pula kata al-Baihaqi. Hal itu karena perbuatan manusia terdiri dari niat, ucapan dan tindakan.

C.    Cabang kaidah al umuru bimaqashidiha.

Dari qaidah tersebut terdapat beberapa qaidah lain dibawahnya antaralain sebagai berikut;
                                                           
a.      pengertian yang diambil dari sesuatu tujuannya bukan semata-mata kata-kata dan ungkapannya ( العبرة فى العقــود للمقاصد والمعاني للألفاظ والمبان)
Sebagai contoh, apabila seseorang berkata: "Saya hibahkan barang ini untukmu selamanya, tapi saya minta uang satu juta rupiah", meskipun katanya adalah hibah, tapi dengan permintaan uang, maka akad tersebut bukan hibah, tetapi merupakan akad jual beli dengan segala akibatnya.
a.       Di kalangan mazhab Hanafi terdapat kaidahلاثواب الابالنية (tidak ada pahala kecuali dengan niat). Kaidah ini dimasukkan ke dalam al-qawaid al-kuliyyahyang pertama sebelum al-umur bimaqasidiha. Seperti diungkapkan oleh Qâdi 'Abd. Wahab al-Bagdadi al-Maliki. Tampaknya Pendapat maźhab Maliki ini lebih bisa diterima, karena kaidah di atas asalnya لاثواب ولاعقـاب الابالنية (tidak ada pahala dan tidak ada siksa kecuali karena niatnya).
b.      Apabila berbeda antara apa yang diucapkan dengan apa yang ada di dalam hati atau diniatkan, maka yang dianggap benar adalah apa yang ada dalam hati (لواختلف اللســـان والقلب فالمعتبرمافى القلب). Sebagai contoh, apabila hati niat wudû, sedang yang diucapkan adalah mendinginkan anggota badan, maka wudûnya tetap sah.

c.       لايلزم نية العبادة فى كل جزءانماتلزم فى جملة مايفعله  (tidak wajib niat ibadah dalam setiap bagian, tapi wajib niat dalam keseluruhan yang dikerjakan). Contoh: untuk shalat cukup niat shalat, tidak berniat setiap perubahan rukunnya.
d.      كل مفرضين فلاتجزيهنانية واحدة الا الحج والعمرة  (setiap dua kewajiban tidak boleh dengan satu niat, kecuali ibadah haji dan 'umrah). Seperti diketahui dalam pelaksanaan ibadah haji ada tiga cara:
·         Pertama yaitu haji tamatu, yaitu mengerjakan umrah dahulu baru mengerjakan haji, cara ini wajib membayar dam.
·         Kedua yaitu haji ifrad, yaitu mengerjakan haji saja, cara ini tidak wajib membayar dam.
·         Ketiga yaitu haji qiron, yaitu mengerjakan haji dan umrah dalam satu niat dan satu pekerjaan sekaligus. Cara ini juga wajib membayar dam. Cara ketiga ini lah haji qiron yang dikecualikan oleh kaidah tersebut di atas. Jadi prinsipnya setiap dua kewajiban ibadah atau lebih, masing-masing harus dilakukan dengan niat tersendiri.

e.        كــل ماكان له أصل فلاينتقل عن أصله بمجرد النية (setiap perbuatan asal atau pokok, maka tidak bisa bepindah dari yang asal karena semata-mata niat). Contoh: seseorang niat shalat zuhur, kemudian setelah satu raka'at, dia berpindah kepada shalat tahiyyat al-masjid, maka batal shalat zuhurnya. Pendapat ini dipegang oleh mazhab Abu Hanafiah dan juga mazhab Malik. Kasus ini berbeda dengan orang yang sejak terbit fajar belum makan dan minum, kemudian tengah hari berniat saum sunnah, maka sah saumnya, karena sejak terbit fajar belum makan apa-apa.

f.       مقاصد اللفظ على نية اللافظ الا فى موضع واحد وهواليمين عند القاضى فانهاعلى نية القاضى
(maksud yang terkandung dalam ungkapan kata sesuai dengan niat orang yang mengucapkan). Kecuali dalam satu tempat, yaitu dalam sumpah di hadapan qadi. Dalam keadaan demikian maka maksud lafaz adalah menurut niat qadi".
Berdasarkan kaidah ini, maksud kata-kata seperti talak, hibah, naźar, shalat, sedekah, dan seterusnya harus dikembalikan kepada niat orang yang mengucapkan kata tersebut, apa yang dimaksud olehnya, apakah sedekah itu maksudnya zakat, atau sedekah sunnah. Apakah shalat itu maksudnya shalat fardhu atau shalat sunnah.

g.          الأيمان مبنية على الألفاظ والمقاصد   (sumpah itu harus berdasarkan kata-kata dan maksud). Khusus untuk sumpah ada kata-kata khusus yang digunakan, yaitu "wallahi" atau "demi Allah saya bersumpah" bahwa saya......dan seterusnya. Selain itu harus diperhatikan pula apa maksud dengan sumpahnya. Dalam hukum Islam, antara niat, cara, dan tujuan harus ada dalam garis lurus, artinya niatnya harus ikhlas, caranya harus benar dan baik, dan tujuannya harus mulia untuk mencapai keridhaan Allah SWT.

h.        النية فى اليمين تخصص اللفظ العام ولا تعمم الخاص   (niat dalam sumpah mengkhususkan lafaz 'âm, tidak menjadikan 'âm lafaz yang kḣas). Penerapan kaidah fikih ini dapat diamati dalam keadaan kasus orang yang bersumpah. Apabila seseorang bersumpah tdak akan mau berbicara dengan manusia tetapi, yang dimaksudkannya hanya orang tertentu. Contoh: yaitu Umar, maka sumpahnya hanya berlaku terhadap Umar. Hal serupa juga berlaku pula pada orang yang menerima minuman  dari orang lain. Lalu orang yang menerima minuman bersumpah tidak akan memanfaatkan minuman itu, tetapi diniatkan untuk semua pemberiannya, maka ia tidak dinilai melanggar sumpah apabila ia menerima makanan atau pakaian pemberiannya dan kemudian memanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan dirinya.

i.         مالايشترط التعرض له جملة وتفصيلااذاعينه وأخطأ لم يضر  

(Sesuatu amal yang dalam pelaksanaannya tidak disyaratkan untuk dijelaskan/dipastikan niatnya, baik secara garis besar ataupun secara terperinci, kemudian ditentukan dan ternyata salah, maka kesalahan ini tidak membahayakan (sahnya amal)”.
Melalui kaidah fikih ini dapat ditegaskan orang yang menyatakan niat bahwa tempat pelaksanaan sholatnya dimasjid atau musalla atau menyebutkan hari tertentu imam tertentu dalam sholat berjamaah, lalu terbukti kemudian apa yang dinyatakan dalam niat itu keliru, maka sholat yang bersangkutan tetap sah secara hukum. Hal ini mengingat sholat yang dilakukan orang tersebut secara sempurna. Sementara kekeliruan niat terjadi hanya pada sejumlah persoalan yang tidak mempunyai kaitannya dengan sholat.Contoh: orang yang dalam niat shalatnya menegaskan tentang tempatnya shalat, yaitu masjid atau di rumah, harinya shalat rabu atau kamis, imamnya dalam satu shalat jama'ah Umar atau Ahmad, kemudian apa yang ditentukan itu keliru maka shalatnya tetap sah, karena shalat telah terlaksana dengan sempurna, sedangkan kekeliruan hanya pada hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan shalat.
j.       ومايشترط فيه التعرض فالخطأ فيه مبطل   (pada suatu amal yang dalam pelaksanaannya di syaratkan kepastian/kejelasan niatnya, maka kesalahan dalam memastikannya akan membatalkan amal). kaidah fikih yang menyatakan bahwa kesalahan dalam niat untuk amal yang menuntut kejelasan niat, kesalahan  berimplikasi terhadap batal amal tersebut.
k.      ومايجب التعرض له جملة ولا يشترط تعيينه تفصيلااذاعينه وأخطأ ضر
(Sesuatu amal yang diatnya harus dipastikan secara garis besar, tidak secara terperinci, kemudian dipastikan secara terperinci dan ternyata salah, maka membahayakan sahnya amal). Contoh shalat berjama'ah dengan niat makmum pada Umar, kemudian ternyata yang menjadi imam adalah Ali, maka tidak sah makmumnya.

D.    Penerapan Qaidah Dalam Bidang Muamalah


“Segala urusan tergantung kepada tujuannya”

Contoh penerapannya:
Apabila seseorang membeli anggur dengan tujuan/niat memakan atau menjual maka hukumnya boleh. Akan tetapi apabila ia membeli dengan tujuan/niat menjadikan khamr, atau menjual pada orang yang akan menjadikannya sebagai khamr, maka hukumnya haram.
Apabila seseorang menemukan di jalan sebuah dompet yang berisi sejumlah uang lalu mengambilnya dengan tujuan/niat mengembalikan kepada pemiliknya, maka hal itu tidak mengganti jika dompet itu hilang tanpa sengaja. Akan tetapi jika ia mengambilnya dengan tujuan/niat untuk memilikinya, maka ia dihukumkan sama dengan ghashib (orang yang merampas harta orang). Jika dompet itu hilang, maka ia harus menggantinya secara mutlak.
Apabila seseorang menabung di Bank Konvensional dengan tujuan/niat untuk mengamankan uangnya karena belum ada bank syariah di daerahnya, maka ia dibolehkan karena dharurat. Akan tetapi jika ia menyimpan uang di Bank konvensional itu dengan tujuan/niat memperoleh bunga dari bank itu, maka hukumnya haram.






                                                                         BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Pengertian dari al umuru bi Maqosidiha yaitu segala sesuatu tergantng pada tujuannya. Maksudnya adalah niat atau motif yang terkandung dalam didalam hati seseorang saat melakukan perbuatan,menjadi kriteria yang dapat menentukan nilai dan status hukum amal perbuatan yang telah dilakukan,baik yang berhubungan dengan peribadatan maupun adat kebiasaan.
Qaidah yang pertama membawa maksud setiap urusan dinilai berdasarkan tujuan/niatnya. Secara eksplisit, qaidah tersebut menjelaskan bahawa setiap pekerjaan yang ingin dilakukan oleh seseorang perlu disertai dengan tujuan/niat. Oleh karena itu, maka setiap perbuatan mukallaf amat bergantung kepada apa yang diniatkannya, bahkan para ulama fiqh sepakat bahwa sesuatu perbuatan yang telah diniatkan, namun perbuatan tersebut tidak dapat dilaksanakan karena suatu kesukaran ia tetap diberikan pahala/ganjara.

Kaidah al – umuru bimaqosidiha di sini memiliki beberapa cabang kaidah yaitu:
a.     العبرة فى العقــود للمقاصد والمعاني للألفاظ والمباني
b.    لواختلف اللســـان والقلب فالمعتبرمافى القلب
c.     لايلزم نية العبادة فى كل جزءانماتلزم فى جملة مايفعله
d.    كل مفرضين فلاتجزيهنانية واحدة الا الحج والعمرة
e.    كــل ماكان له أصل فلاينتقل عن أصله بمجرد النية
f.      مقاصد اللفظ على نية اللافظ الا فى موضع واحد وهواليمين عند القاضى فانهاعلى نية القاضى
g.    الأيمان مبنية على الألفاظ والمقاصد
h.    النية فى اليمين تخصص اللفظ العام ولا تعمم الخاص 
i.      ومايشترط فيه التعرض فالخطأ فيه مبطل
j.      ومايجب التعرض له جملة ولا يشترط تعيينه تفصيلااذاعينه وأخطأ ضر
k.     مالايشترط التعرض له جملة وتفصيلااذاعينه وأخطأ لم يضر







DAFTAR PUSTAKA
Fathurrahman Azhari, 2015, Qawaid Fiqhiyah Muammalah, Cet. 1, Banjarmasin; Lembaga Pemberdayaan Umat (Lpku).

oktober 2017

Komentar

  1. Balasan
    1. sama sama,jangan lupa bagikan postingan ini

      Hapus
  2. Bagai mana pandangan tentang makrab oleh pandangan kacamata fiqih apa boleh pakek hadist al umuru teesevit?

    BalasHapus
  3. الأيمان مبنية على الأغراض لا على الألفاظ

    BalasHapus
  4. Apa hikmah dari al umuru bi maqashidiha

    BalasHapus
  5. Kak unutk nama penerbit artikel ini siapa ya bisa kaka komentar soalnya saya lagi butuh, terimakasih kaka

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer